Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil beranggotakan 31 organisasi masyarakat sipil, di nasional dan daerah, MENDESAK anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Periode 2024-2029, yang baru dilantik hari ini (1/10/2024) untuk serius benahi tata kelola sektor energi dan sumber daya alam (SDA) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengingatkan, ”Meskipun agak pesimis mengingat DPR Periode ini masih dihuni oleh wajah-wajah lama (370 dari 580). Namun, DPR Periode ini tidak boleh mengulangi kesalahan DPR periode kemarin yang kinerjanya jauh dari kata memuaskan.”
“DPR Periode ini harus berani membuat terobosan dan memaksimalkan fungsi legislasi, pengawasan dan budgeting yang dimilikinya.” ungkapnya.
Ada banyak target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terkait sektor energi dan SDA yang tak terselesaikan atau disahkan di periode kemarin. Seperti Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) dan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang hingga kini stagnan, maupun RUU Keadilan (Perubahan) Iklim yang belum sama sekali tersentuh.
“Padahal RUU tersebut memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Apalagi, kita dihadapkan pada makin nyatanya perubahan iklim dan harus segera melakukan transisi energi yang berkeadilan. Regulasi yang dibutuhkan tak semata cepat, namun juga sekali lagi tidak bertentangan dengan semangat transisi energi” jelasnya.
Yang patut disayangkan, baik draft RUU Migas maupun RUU EBET misalnya, justru masih jauh dari semangat transisi energi berkeadilan, dan malah mengakomodir sejumlah solusi palsu, seperti Nuklir, penggunaan Carbon Capture and Storage (CCS/CCUS) di sektor Migas dll.
“Ini harus diubah secepatnya!” desak Aryanto.
Selain itu, harus juga dipercepat RUU Masyarakat Adat, sebagai dasar pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang makin terpinggirkan akibat ekspansi Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan, kehutanan dan Perkebunan.
DPR harus betul-betul menjadi representasi dari rakyat itu sendiri. Dari berbagai pengalaman pengesahan UU periode lalu, DPR acapkali lupa bahwa rakyatlah yang mereka representasikan.
Ia mencontohkan beberapa produk UU yang justru tidak berpihak untuk rakyat. Misalnya UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Cipta Kerja), Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka seakan lupa bahwa dari rakyat dan seharusnya berbuat untuk rakyat. Bukan malah tersandera dengan kepentingan oligarki.
“Kami mendesak, pembahasan semua RUU harus lebih transparan dan partisipatif, mulai dari penyusunan Naskah Akademis, Pembahasan, hingga Pengesahannya!” ujar Aryanto
Ariyansah NK, Peneliti PWYP Indonesia juga mengingatkan masih lemahnya fungsi pengawasan DPR, khususnya di sektor energi dan sumber daya alam. Sektor ini merupakan sektor penting dan strategis sebagai penopang ekonomi, sekaligus memastikan tidak adanya ketimpangan serta memastikan perlindungan lingkungan dan SDA untuk generasi mendatang.
Di sektor ini, DPR harus turut aktif dan berani menggunakan hak-haknya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar UUD 1945, yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
“DPR harus berani membongkar, dugaan kasus korupsi timah yang merugikan negara sebesar Rp 271 triliun; menyelesaikan 2.751 Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang tak kunjung selesai; 47 korban meninggal di lubang tambang Kalimantan Timur, ancaman deforestasi serta kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat meningkatnya permintaan mineral kritis, dan berbagai problematika lainnya.” desaknya.
“Transparansi dan partisipasi harus ditingkatkan. Peningkatan pengawasan dan turut aktif melalui kewenangan yang dimiliki untuk perbaikan tata kelola energi dan SDA. Percepatan pembahasan dan pengesahan RUU EBET, RUU Migas, RUU Perubahan Iklim, RUU Masyarakat Adat yang sejalan semangat keadilan sosial-ekologis sekaligus bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.” pungkas Ariyansah.