BARANEWS | Generasi, adalah sekelompok orang yang hidup hampir bersamaan dalam kurun waktu tertentu. Di zaman sekarang kita mengenal istilah-istilah generasi seperti: Gen-Z adalah orang-orang yang lahir sekitar tahun 1997-2012, generasi millenial adalah mereka yang lahir sekitar tahun 1981-1996, baby boomers adalah mereka yang lahir sekitar tahun 1946 hingga 1964 dan banyak lainnya. Lalu kita mengenal istilah “golden age” adalah merujuk pada anak-anak yang berada dalam rentang usia 0-5 tahun. Di masa itu, anak-anak berada dalam tahap perkembangan. Namun, istilah yang serupa justru disematkan pada masa-masa awal kedewasaan yang kita kenal dengan istilah “masa keemasan”.
Semua sepakat jika masa keemasan diidentikkan dengan masa muda, mencakup usia remaja sampai menjelang enam puluh tahun ke atas jika dilihat dari usia produktif. Inilah yang menjadi gambaran akan terjadinya bonus demografi di Indonesia tahun 2045. Di mana saat itu Indonesia memiliki jumlah penduduk dengan usia produktif lebih besar dari total jumlah penduduk yang ada.
Mengapa dalam usia produktif manusia dikatakan tengah berada dalam masa keemasan? Sederhananya, karena masa-masa ini fungsi tubuh belum menurun, dan justru sebaliknya, energi yang dihasilkan dari fungsi tubuh ini amat besar. Ini mendorong para pemuda usia produktif bisa melakukan banyak hal-hal yang bermanfaat untuk hidupnya.
Gambaran ideal masa keemasan pemuda mungkin memang seperti itu, namun apa yang terjadi hari ini, berupa penurunan moral telah membayangi Indonesia yang produktif.
Sebut saja salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba yang menurut situs bnn.go.id 82,4% pemakaian adalah dari kalangan pemuda atau remaja yang berawal dari coba-coba yang ujung-ujungnya ketagihan. Karena inilah mungkin Indonesia belum bisa melepas tagline “Indonesia Darurat Narkoba”.
Selanjutnya, satu hal lagi yang menyebabkan degradasi moral remaja adalah konsumsi miras. Meski menurut Data Indonesia.id di tahun 2022 konsumsinya cenderung menurun, tapi masalah ini hendaknya tidak lepas dari perhatian karena bagi sebagian masyarakat, miras sudah menjadi kebutuhan. Padahal dalam pandangan Islam mengonsumsi miras adalah perbuatan yang tercela. Ini sebagaimana yang tersebut dalam surah an-Nisa ayat 43 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Miras sendiri masuk dalam kategori khamr sebagai minuman yang memabukkan. Rasulullah bersabda, yang artinya, “Semua yang memabukkan itu Khamr, dan setiap Khamr itu haram!” (HR: Muslim). Rasulullah Saw, pun telah mewanti-wanti terkait khamr sendiri karena bisa memicu terbuka perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Ini sebagaimana sabda beliau yang artinya, “Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum Khamr, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya.” (HR: ath-Thabrani).
Hal inilah yang mungkin kita lihat dalam kasus viral yang santer di media, yaitu kasus pembunuhan satu keluarga di Babulu Laut oleh seorang yang masih berusia remaja. Kejadian memilukan ini terjadi pada hari Selasa (06/02) silam. Diduga karena cintanya ditolak, pelaku yang baru berusia 17 tahun nekad melakukan pembunuhan di mana korbannya tidak hanya satu, namun seluruh anggota keluarga korban yang totalnya berjumlah lima orang.
Setelah ditelusuri, malam sebelum melancarkan aksinya, pelaku ikut dalam pesta miras. Setelahnya, pelaku mendatangi rumah korban, mematikan listrik, menghabisi ayah, lalu ibu dua adik korban yang terbangun dan korban sendiri. Yang bikin hati ngilu selanjutnya adalah bahwa setelah membunuh korban, tubuh tanpa nyawa itu justru disetubuhi. Bahkan mengambil sejumlah barang milik korban seperti handphone dan uang. Nauzubillah. Belakangan diketahui, pelaku yang berinisial JND ini bukanlah sosok yang dekat dengan masyarakat, dan memiliki kebiasaan menonton anime bergenre dewasa.
Sayangnya, kalau kita telusuri, banyak kasus pembunuhan yang terjadi dilakukan oleh kaum muda yang usianya bahkan masih belasan.
Apakah ini gambaran pemuda yang kita inginkan? Rata-rata orang akan menggeleng sebagai jawaban. Lantas kenapa kasus seperti ini marak terjadi hingga membuat telinga panas?
Jika kita melihat kasus yang seakan tak ada habisnya ini, mungkin kita akan berpikir, “ini salah keluarganya yang tidak mendidik” atau “temannya tak beres” atau “lingkungannya tidak mendukung”. Nyatanya alasan-alasan parsial begitu justru lahir dari sistem yang tidak parsial.
Sekularisme yang diterapkan mudahnya adalah sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan tanpa sadar menggerogoti semua unsur kehidupan; individu; masyarakat; bahkan negara. Hal ini menyebabkan secara sadar tak sadar hanya membuat kita merasa “perlu dengan agama” hanya saat ibadah ritual, sebutlah sholat, zakat, haji. Lalu liberalisme, anak turunan sekularisme ini menjadikan kebebasan dijunjung tinggi. Padahal tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas, namun inilah yang berusaha diembuskan barat (sebagai pengusung sekularime-liberal) dalam memengaruhi para pemuda muslim agar jauh dari agama. Terbukanya era globalisasi dan cepatnya pertumbuhan internet, membuat sebaran konten-konten negatif bak jamur di musim penghujan dan sayangnya, penegakkan hukum untuk industri konten negatif (red: porno) masih belum optimal membuat permintaan terhadap konten tersebut terus meningkat kendati telah dilakukan pemblokiran habis-habisan.
Padahal Islam tidak demikian. Kesempurnaannya yang datang dari Allah SWT, juga mengatur persoalan masyarakat atau muamalah, pendidikan, bahkan ekonomi. Untuk itu, dalam mengatasi masalah yang tidak parsial, diperlukan solusi yang tidak parsial. Maka dalam Islam, penyelesaian masalah bukan hanya dari satu sisi individu tetapi dari sisi lain juga. Penjagaan generasi setidaknya dilakukan dengan:
- Pintu pertama, rumah atau keluarga. Di mana dari keluarga lah semuanya berawal. Orang tua, khususnya ibu bahkan dikatakan sebagai “al-umm Madrasatul ula” atau ibu adalah sekolah pertama hendaknya memahamkan anak pemahaman Islam sejak dini, dimulai dari akidah, ibadah, akhlak lalu muamalah. Serta hukum-hukum Syara’terkait halal-haram suatu perbuatan atau benda. Pemahaman ini adalah sebagai upaya dari apa yang telah Allah ingatkan dalam Qur’an surah at-Tahrim ayat 6 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Orang tua hendaknya tidak membiarkan anak melakukan berbagai aktivitas sebebas-bebasnya. Bukan bermaksud mengurangi kreativitas, tentu pengekangan dan pengawasan adalah dua hal yang berbeda. Karena itu, orang tua seharusnya hadir sebagai teman bagi anak agar tak merasa tak diperhatikan sehingga lepas sepenuhnya dari pengawasan.
- Pintu kedua datang dari masyarakat. Hidup memang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itulah mengapa kita mengenal dengan kehidupan sosial. Kehadiran masyarakat, khususnya masyarakat yang islami akan membantu mendorong terciptanya pembentukan generasi yang islami pula. Karena, bukankah seseorang juga tumbuh dari lingkungan tempat dia hidup? Jika baik dan mendukung, maka output yang dihasilkan pun bisa ikut baik. Karena itulah, masyarakat hendaknya melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar. Masyarakat yang islami didorong pula oleh aturan Islam yang bersifat mengikat. Di sinilah lahir pintu ketiga penjagaan generasi.
- Pintu ketiga, negara. Sebagai pelaksana hukum, negara hendaknya menerapkan aturan-aturan Islam termasuk dalam pelarangan penjualan, produksi miras walau dianggap membantu pemasukan kas negara. Namun perlu diingat, jika larangan Allah soal miras bukanlah untuk individu saja. Aturan itu hendaknya diterapkan tanpa melihat lagi adanya manfaat atau mudhorot. Lalu hendaknya para pelaku minum miras, misalnya, hendaknya diberi hukuman jera agar tidak terjadi lagi pelanggaran atas hukum Syara’. Di sinilah pentingnya penerapan hudud yang disesuaikan dengan berat tidaknya tindak pidana yang dilakukan. Semisal miras, had yang diterapkan adalah dijilid 40 kali sebagaimana sabda Nabi, “Dari Anas bin Malik ra, dihadapkan kepada Nabi saw seorang yang telah minum khamr, kemudian beliau menjilidnya dengan dua tangkai pelepah kurma kira-kira 40 kali.” (Muttafaq Alaih). Negara hendaknya tidak hanya menjadi regulator, tapi benar-benar hadir sebagai pemimpin yang ikut mengayomi masyarakat. Lalu bagaimana jika pelaku masih berstatus sebagai pelajar? Jawabnya, selama manusia telah mencapai masa baligh maka telah menjadi mukallaf, artinya telah dikenakan kewajiban untuk menjalankan hukum-hukum Allah swt. Karena itu, mereka tidak akan dilepas dari pertanggungjawaban. Karenanya, jika sampai terjadi tindak pembunuhan maka hukuman yang berlaku adalah akan disesuaikan dengan jenis pidana, apakah sengaja, semi sengaja, atau tidak sengaja. Beberapa hukuman yang diterapkan antara lain: pembayaran diyat (denda) atau hukuman setimpal (qishas)
Begitulah sifat hukum Islam yang ingin memberikan efek jera sehingga perbuatan serupa tak terulang, dan dengan ini penjagaan generasi memang tidak bisa dilakukan hanya dari satu sisi, semuanya harus berkontribusi. Dengan ini, insya Allah, akan lahir kembali generasi-generasi produktif seperti Muhammad al-Fatih, imam Bukhari, Usamah bin Zaid, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya, tidak hanya sukses di dunia tapi juga untuk negeri keabadian. Wallahu’alam bisshawaab.