Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd, alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Konflik agraria alias lahan kembali terjadi, kali ini terjadi antara dunia pendidikan demi kepentingan penelitian dan para pengusaha demi pertambangan. Bagaimanakah kelanjutan dari kasus ini, tunggu saja berita berikutnya. Hanya saja tulisan ini akan mengulas bagaimana sikap penguasa menghadapi persengketaan lahan ini.
Diberitakan lahan penelitian untuk pendidikan Muhammadiyah seluas 10 hektar di kawasan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, diduga ditambang PT Berau Coal melalui mitranya PT Kaltim Diamond Coal (KDC). Dugaan penyerobotan lahan inipun berbuntut panjang. Sekretaris Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Hasyim, menjelaskan saat ini pengurus Muhammadiyah Berau akan mengambil langkah hukum dengan melaporkannya ke Polres Berau dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Berau. Tidak itu saja, pihaknya juga melayangkan somasi ke pihak KDC dan PT Berau Coal melalui pengurus Muhammadiyah pusat.
Dikatakan Hasyim, luas lahan penelitian milik Muhammadiyah di sana ada 10 hektar. Namun sekarang, posisinya sudah dilakukan penambangan sekira 3 hingga 5 hektar. Dijelaskannya, memang lokasi lahan tersebut bersebelahan dengan area penambangan milik PT Berau Coal. Sebenarnya, batas ini sudah sama-sama saling mengetahui. Hanya saja, pihak Berau Coal, katanya, mendapatkan izin menggarap lahan tersebut dari pria yang berinisial JA.
Tak sampai disitu, Hasyim kemudian berkomunikasi dengan JA, melalui sambungan telepon. Dari pembicaraan itu terjadi perbedaan saat berada di lokasi dengan surat batas yang dibuat. Sebenarnya, pihaknya sudah dimediasi oleh Menko Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Efendi dengan Berau Coal. Hasil dari mediasi itu tidak diperhatikan oleh perusahaan. Bahkan, pihaknya mengindikasikan, bahwa peta yang dimiliki JA yang menjadi dasar Berau Coal menambang diduga rekayasa.
Sementara itu, perwakilan manajemen PT KDC, Hamzah, selaku kontraktor pelaksana mengatakan, bahwa lahan tersebut dikerjakan berdasarkan surat perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan berinisial JA. Dikatakan, pembukaan lahan yang diklaim Muhammadiyah sebagai hutan penelitian, bukanlah sebuah penyerobotan, karena sudah mendapat izin dan kerja sama dari pemilik lahan yang menjadi dasarnya. Hingga saat ini, proses kegiatan operasional tetap berlangsung di lokasi, meskipun ada keberatan dari pihak Muhamadiyah Berau.
Sementara itu, perwakilan manajemen dari PT Berau Coal selaku pemegang izin konsesi, Rudini, juga menyebut kontraktor pelaksana beroperasi di area yang status lahannya sudah jelas (clear). Jika ada pihak yang melakukan klaim memiliki lahan di area tersebut, maka dapat dikonfirmasi dan dikomunikasikan dengan pihak PT KDC dan melibatkan institusi terkait bila diperlukan.
Demikian rumitnya kasus sengketa lahan antara pertambangan dan pendidikan, apalagi terjadi perbedaan batas antara surat yang diklaim dengan lokasi di lapangan. Dari sini bisa dilihat bagaimana negara dalam hal surat administrasi saja gagal melindungi hak lahan warga sehingga terjadi sengketa. Lantas bagaimana seharusnya sikap negara dalam hal sengketa lahan ini?
Akibat Lahan Dibebaskan Negara
Sengketa lahan sudah sering terjadi menghiasi negeri ini. Memang jika ditelusuri lebih dalam konflik lahan ini bukan hanya perkara teknis administrasi dan penyalahgunaan surat kepemilikan tanah tetapi sudah menyangkut perkara sistematis dan ideologis.
Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, setidaknya ada tiga catatan penyebab konflik agraria di negeri ini. Pertama, sistem administrasi pertanahan yang amburadul sehingga kepastian hukum atas hak tanah sangat rendah.
Kedua, maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Kondisi ini memunculkan praktik mafia pertanahan yang melibatkan pejabat pertanahan, pemerintah, dan pengusaha.
Ketiga, penegakan hukum lemah terkait masalah pertanahan. Hal ini juga menjadi penyebab konflik agraria. Lalu lahirlah dampak turunan, yakni sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, serta penggusuran tanah-tanah rakyat yang dimiliki secara sah untuk kepentingan oligarki.
Oleh karena itu, konflik lahan lahir akibat kesalahan dalam tata kelola lahan itu sendiri, yakni paradigma kapitalis sekuler. Kebebasan kepemilikan yang dilegalkan membuat pemodal menguasai lahan tanpa batas. Tidak ada aturan larangan lahan milik umat atau negara menjadikan lahan bebas dikuasai para kapital, misalnya ditambang.
Islam dalam Tata Kelola Lahan
Negara harusnya menjadikan hukum syariat sebagai tata kelola terkait lahan. Pada sektor kepemilikan, Islam mempunyai aturan jelas. Islam mengatur bahwa SDA yang menyangkut padang gembala, air dan api (minyak bumi dan gas alam) tidak boleh dikuasai individu. Atas dasar itu, khalifah tidak akan mengizinkan perorangan mengelola SDA demi keuntungan pribadi. Semua harta umum itu akan dikelola negara. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Berkaitan dengan kepemilikan individu, negara melarang setiap orang melakukan tindakan sewenang-wenang seperti merebut hak milik atau merebut paksa tanah milik orang lain. Tidak hanya itu, negara juga akan memberikan tanah kepada rakyat ketika mereka bisa menghidupkan tanah tersebut.
Semua itu akan dilakukan dalam sistem Islam. Khalifah memiliki visi riayah, sehingga masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya termasuk dalam hal kepemilikan lahan. Lahan oleh negara akan betul-betul diatur dan dijaga sehingga akan meminimalisir konflik. Demikianlah penjagaan dan sikap penguasa seharusnya, negara harus menjadi penengah memutuskan konflik lahan sesuai hukum Islam. Wallahu’allam…