Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd, alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur melakukan aksi damai menyikapi perkembangan kasus kekerasan seksual di Bumi Etam. Aksi digelar di depan Taman Samarendah Jalan Bhayangkara, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota pada Jumat, 2 Februari 2024.
TRC PPA Kaltim menyoroti masifnya angka kekerasan seksual yang terjadi. Ironisnya, pelakunya banyak dari orang-orang terdekat korban. Rina Zainur, Ketua TRC PPA Kaltim menegaskan tujuan aksi damai tersebut adalah untuk mendorong agar hukuman kebiri diberlakukan kepada para pelaku kekerasan seksual.
Untuk Januari 2024 ini saja sudah ada 10 kasus yang ditangani oleh TRC PPA, tujuh diantaranya orang terdekat seperti ayah kandung, kakak kandung, kakak sepupu dan paman. Berdasarkan data kekerasan seksual mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu yang terdapat 11 kasus dalam setahun.
Sebelumnya kasus terbaru TRC-PPA Kaltim melaporkan kasus pemerkosaan anak di bawah umur oleh ayah kandung ke Polsek Palaran pada Selasa, 30 Januari 2024. Informasi tersebut segera ditindaklanjuti tim operasional Reskrim Polsek Palaran dengan melakukan penyelidikan. Kemudian, pelaku ditangkap di kediamannya.
Kritis Kekerasan Seksual
Angka kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak bagaikan penyakit kritis, angkanya kian masif. Tentu sangat mengkhawatirkan, tahun 2024 saja baru sebulan angkanya sudah menyamai setahun lalu yang ditangani TRC PPA Kaltim.
Aksi damai tim TRC PPA dengan mendorong hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual tentu dengan pertimbangan agar pelaku jera. Namun, benar dan efektifkah hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual? Mengingat Indonesia mayoritas muslim sedangkan hukum kebiri tidak dikenal dalam hukum Islam.
Selain itu, perlu ditangani adanya faktor-faktor penyebab hingga akar kekerasan seksual. Penyebab kekerasan seksual di antaranya ketidakpedulian orang tua, lingkungan dan masyarakat bahkan negara yang condong menganggap perkara seksual adalah hak dan kebebasan individu. Kita lihat atas nama kebebasan dalam demokrasi informasi dari internet dan media bebas dan mudah diakses oleh siapa saja. Atas nama HAM pula laki-laki dan perempuan bebas bergaul tanpa batas.
Selain itu, kewajiban perlindungan terhadap anak dan perempuan tidak hanya berpangku pada orang tua atau keluarga saja. Negara wajib mengkondisikan sistem dalam negara ini, baik itu sosial ekonomi, pergaulan, pendidikan, dan hukum yang tegas agar anak-anak dan perempuan terlindungi dari berbagai kejahatan dan kekerasan seksual. Meski berbagai progam pemerintah, LSM, dan pegiat gender feminisme mencegah dan menangani kekerasan seksual namun belum bisa menurunkan tingkat kekerasan seksual itu sendiri.
Demikianlah ketika menjadikan paham feminisme dan sekuler liberalisme sebagai asas dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak justru berakar dari ide kebebasan itu sendiri yang bersumber dari ideologi kapitalis sekulerisme. Sistem sekulerisme ini melegalkan pemahaman liberal (kebebasan) dalam kehidupan, lepas dari aturan agama. Termasuk bebas bertingkah laku yang mendorong pelecehan dan kekerasan seksual meningkat.
Paham liberal membebaskan terjadinya hubungan seksual antara laki dan perempuan tanpa pernikahan, termasuk LGBT. Paham liberal pula yang membuat para pengusaha kapitalis menjadikan industri pornografi dan tayangan-tayangan yang merangsang syahwat seksual sebagai pasar keuntungan yang menggiurkan. Paham liberal menyebabkan peran negara tidak tegas untuk melindungi dan menjaga anggota masyarakat yang berakibat pada kekerasan maupun pelecehan seksual. Tidak salah dikatakan kalau Kaltim khususnya dan Indonesia secara luas memang kritis kekerasan seksual.
Islam Solusi Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual perempuan dan anak dengan hukum kebiri bukan dipandang efektif atau tidak melainkan harus dengan pandangan Islam. Terkait hukum kebiri berarti mengubah fisik manusia sehingga menjadi wasilah keharaman. Selain itu, model kebiri tidak diadopsi dan dipilih syariat Islam sebagai hukuman alternatif bagi tindak kejahatan seksual.
Para ulama mengharamkan kebiri berdalil dengan hadis Ibnu Mas’ud RA yang mengatakan, “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi Saw sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu, kami bertanya kepada Nabi SAW, ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’. Maka Nabi SAW melarangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Selain hadis sahih yang tegas melarang pengebirian ini, ulama yang ingin berijtihad dalam penetapan hukum Islam harus merujuk pada hukum-hukum asal yang sudah ada. Kasus pemerkosaan sebenarnya bisa diambil dari hukum asalnya, yakni perzinaan atau homoseksual. Jika pedofilia masuk dalam kategori perzinaan, maka hukumannya cambuk 100 kali atau rajam (bunuh). Jika pelaku pedofilia tergolong liwat (homoseksual), ia dihukum mati. Jika sebatas pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai melakukan zina atau homoseksual, hukumannya takzir.
Selain itu, permasalahan kekerasan seksual pada anak dan perempuan perlu solusi sampai ke akar masalah, yakni mengganti sistem kapitalisme sekuler dengan Islam. Sesungguhnya hanya Islam yang akan memberikan perlindungan dari berbagai kasus kejahatan seksual. Misalnya melalui upaya preventif dengan menerapkan sistem pergaulan Islam. Selanjutnya melalui langkah kuratif yang akan memberikan sanksi sehingga membuat jera para pelaku termasuk mencegah munculnya kasus serupa.
Tidak hanya itu, Islam pun akan mengkondisikan sistem lainnya (ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, media, dsb) agar berjalan sesuai dengan aturan syariat. Dengan diterapkannya aturan Islam secara sistemik melalui negara maka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak akan terselesaikan dengan tuntas hingga ke akarnya.
Wallahu’alam